Laporan wartawan sorotnews.co.id : Oriyen Suebu.
JAKARTA – Sarekat Demokrasi Indonesia (SDI) di Jakarta pada (3/11/2021) mempertanyakan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) terkait eksaminasi publik Pilkada Yalimo. Dalam eksaminasi publiknya, SDI menilai putusan MK No. 145/PHP.BUP-XIX/2021 tertanggal 29 Juli 2021, dalam sengketa Pilkada Kabupaten Yalimo Provinsi Papua, sangat dangkal dan kontroversi serta telah menciderai prinsip demokrasi dalam Pemilihan Umum serta asas keadilan dan kepastian hukum.
“Dalam memutuskan perkara Pilkada Yalimo, sangat jelas terlihat MK sudah terlalu jauh dan melebar tanpa dasar kewenangan yang jelas. Sehingga mendiskualifikasi pasangan calon yang telah beberapa kali melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU)”, kata Andrean Saefudin selaku Ketua Umum Pengurus Pusat SDI dalam Webinar Nasional bertema
“Demokrasi di Papua Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Sengketa Pilkada di Kabupaten Yalimo”, Kamis (2/12/2021).
Andrean menerangkan, putusan MK ini berdampak serius terhadap kondisi di Yalimo yang luput dari perhatian publik hingga saat ini.
Dalam paparan kondisi terkini di Yalimo, Paskalis Kossay praktisi dan tokoh masyarakat Papua menerangkan, Saat ini, kondisi di Yalimo terjadi kerusuhan, merusak fasilitas umum, membakar gedung/kantor pemerintah daerah dan kios milik warga, dan memalang Jalan Trans Papua di ruas Jayapura-Wamena selama satu bulan.
Menurutnya, kondisi demokrasi di Yalimo carut marut. Terbukti, KPU dan Bawaslu setempat tidak berani mengadakan PSU di sana, meski sudah diberi waktu 120 hari oleh MK. Sedangkan pendukung paslon nomor urut 1 Erdi Dabi dan John Wilil yang sejatinya memenangkan Pilkada Yalimo menilai MK tidak berwenang menyidang gugatan yang disampaikan penggugat. Hal itu menjadi ranah PTUN, bukan MK, terang Paskalis yang juga Anggota DPR RI periode 2004-2009 ini.
Dikatakannya, tuntutan pendukung paslon nomor urut 1 meminta agar Erdi Dabi dan John Wilil segera dilantik. Pasalnya, mereka sudah dinyatakan menang. Hanya saja digugurkan oleh cara-cara yang tidak sehat, bahkan bukan menjadi wilayah MK sebenarnya.
“Putusan MK terkesan membodohi rakyat. Tidak memberikan pendidikan politik dan demokrasi yang baik pada masyarakat di Yalimo. Sehingga tidak ada penjelasan yang tuntas dari MK terkait hal tersebut”, imbuh Paskalis.
Tak hanya itu, lanjutnya, putusan MK ini kontrapoduktif dan ada indikasi transaksional. “Hakim MK yang menangani perkara Pilkada Yalimo harus diperiksa,” tegasnya.
Sementara itu, Imam Sholeh Direktur Magnum Opus Research and Consulting mengatakan, persoalan di Yalimo sangat serius dalam konteks pembangunan demokrasi di Indonesia.
“KPU dan Bawaslu tidak mampu mengantisipasi hal hal yang bakal terjadi di lapangan. Kelemahan ini bisa menyulitkan pertumbuhan demokrasi di Indonesia,” tuturnya.
Pembicara lain, Stepi Anriani pemerhati intelijen dan keamanan nasional menegaskan, jangan sampai demokrasi mengorbankan hak asasi manusia,
“Antara demokrasi dan HAM harus seimbang,” tukasnya.
Menurutnya, Kemenkopolhukham dan Kemendagri bisa dapat memfasilitasi penyelesaian masalah ini dengan mengutamakan kebaikan bersama demi berlangsungnya pemerintahan dan situasi kondusif di Kabupaten Yalimo.
“MK juga perlu menjelaskan posisi putusan perkara ini karena wilayah sengketa hukum menjadi ranah Bawaslu yang dapat ditindaklanjuti oleh PTUN,” pungkasnya.