Laporan wartawan sorotnews.co.id : Tim.
KOTA PEKALONGAN, JATENG – Korban penyerobotan lahan proyek pembangunan tanggul Pantai Slamaran, Kota Pekalongan, terpaksa harus menahan kesabaran, pasalnya pemasangan patok tanda batas lahan yang sudah dijadwalkan bersama gagal dilaksanakan hanya karena pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) urung hadir tanpa kejelasan.
“Pengukuran dan pemasangan patok tanah milik klien kami masih mengalami kendala, yakni belum ditemukannya batas-batas lahan,” ungkap Zaenudin di lokasi Proyek, Senin (23/5/2023).
Untuk itu pihaknya akan berkoordinasi dengan BPN guna mencari solusi kendala yang ada di lapangan terutama berkaitan dengan batas lahan milik para korban.
Ia mengatakan lahan milik kliennya yang terdampak proyek tanggul pantai seluas 1,5 hektar terpecah beberapa bidang dan semuanya bersertifikat hak milik atas nama Haji Subekhan.
“Beberapa bidang tanah yang dimiliki Haji Subekhan semua ada sertifikatnya namun belum diketahui berapa persisnya yang terkena dampak proyek karena pengukuran maupun pemasangan patok belum bisa dilaksanakan,” beber Zaenudin.
Ia kembali menegaskan tidak akan membuka akses sebelum ada ganti untung yang adil bagi kliennya sehingga kelanjutan pekerjaan proyek nasional bergantung pada penyelesaian masalah di lapangan.
Sementara itu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sugiyanto mengatakan kehadirannya di kegiatan pengukuran hanya memonitor pelaksanaannya.
“Saya diundang untuk hadir menyaksikan proses pengukuran dan pemasangan patok ini dan apa yang akan dilaksanakan setelah ini,” ujarnya.
Sebelumnya Haji Subekhan bersama sejumlah pemilik tanah di lokasi proyek pembangunan tanggul Pantai Slamaran telah menjadi korban
penyerobotan lahan dengan modus hibah tanah ke negara.
Korban yang menjadi pemilik sertifikat tanah yang sah tidak pernah diundang sosialisasi proyek negara tersebut, namun tiba-tiba mendapat kiriman surat pernyataan berisi kerelaan menyerahkan tanah ke negara sebagai hibah.
Alhasil ulah pihak penyelenggara negara tersebut langsung mendapat reaksi dari para korban karena informasi yang diterima tidak sesuai kenyataan dan akhirnya lokasi proyek diblokir.
Berbagai upaya mediasi untuk menyelesaikan persoalan itu gagal karena pemilik tanah maupun ahli waris menolak menyerahkan tanah secara cuma-cuma.