Ritual Sakral, “Tedhak Siten” Budaya Jawa Mudun Lemah di Gempol Balas Klumprik, Surabaya

Laporan wartawan sorotnews.co.id : Sanusi. 

SURABAYA, JATIM – M. Satallyawan Efendy (Ayah) dan Eva Faujiah (Ibu) adalah pasangan suami istri adalah warga Desa Balas Klumprik, RW 01/ Rt 03 Kecamatan Wiyung, Surabaya, Jawa Timur masih melestarikan tradisi mudun lemah (turun ke tanah) di bulan Syawal. Tradisi ini dilakukan bagi bayi yang baru bisa berjalan, dengan tujuan agar si bayi memiliki sifat mandiri ketika dewasa nanti.

Bacaan Lainnya

Didalam acara tradisi mudun lemah digelar dengan sederhana di kediamannya di Desa Gempol, Kelurahan Balas Klumprik, Kecamatan Wiyung, Surabaya, pada hari Minggu, (28/7/2024). Tradisi ini bagi ananda bernama Rafaeza Kayfan Al Barra yang baru berusia (7) bulan.

Dari pantauan sorotnews.co.id, puluhan warga juga terlihat datang memeriahkan acara tradisi itu. Acara dibuka dengan menyalakan petasan di halaman rumah.

Acara dilanjutkan dengan dipersiapkan tangga yang terbuat dari batang tebu dan sangkar terbuat dari bambu di depan rumah. Tradisi dimulai dengan si bayi menaiki tangga dari bambu dengan digendong ayahnya.

Setelah menaiki tangga, si bayi kemudian bermain di dalam sangkar yang telah disediakan. Tampak si bayi ketika di dalam sangkar menangis.

Setelah proses yang dilalui kemudian dilanjutkan dengan membagi-bagi uang recehan kepada para anak-anak hingga orang dewasa yang hadir.

Dengan berakhirnya acara tradisi tersebut, ditutup dengan doa. Doa dipanjatkan oleh tokoh masyarakat setempat dengan tujuan agar si bayi diberikan keselamatan, kesehatan, dan kemudahan rezeki saat dewasa nanti.

M. Satallyawan Efendy menuturkan, “acara ini sebagai tradisi turun-menurun. Acara mudun lemah biasanya dilakukan di bulan Syawal atau sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri,” terangnya.

“Saya sebagai orang tua melaksanakan kewajiban mengikuti tradisi leluhur, nguri-nguri budaya leluhur dan melestarikan budaya leluhur, yakni dengan acara upacara mudun lemah anak yang pertama ini,” jelas M. Satallyawan, saat ditemui di rumahnya, Minggu (28/7/2024).

M. Satallyawan Efendy (Ayah) mengatakan, tradisi mudun lemah (Tedhak Siten) ada berapa tujuan ataupun filosofi. Melalui tradisi ini ia berharap anak (pertama) dapat diberikan kesehatan, keselamatan, dan kemudahan rezeki saat dewasa nanti.

“Supaya dalam mengarungi hidup di bumi ini diberikan kemudahan diberikan kesehatan, keselamatan, dijauhkan mara bahaya mala petaka dan dijauhkan dari penyakit dan lainnya,” harapnya.

Di sisi lain, Tokoh masyarakat desa setempat, ibu Wasianing, menjelaskan tradisi mudun lemah bukan sebagai kewajiban bagi masyarakat. Dilaksanakan bisa, tidak pun tidak masalah.

Tradisi ini dilakukan bagi bayi yang baru bisa berjalan. Biasanya bagi bayi yang baru turun dari ayunan.

Hal ini bisa dilakukan dan juga tidak lakukan tidak jadi masalah. Tradisi ini dilakukan bagi anak lepas dari ayunan. Karena diizinkan dari Allah berjalan di atas bumi. Ini orang dulu itu menirukan agar selamat dari fitnah dan diberkahi oleh Allah swt, senantiasa berlimpah usai acara mudun lemah.

Tradisi yang dilakukan yakni mudun lemah dan membagikan uang recehan kepada warga. Hal ini pun ada maksud tertentu. Untuk mudun lemah diharapkan agar si bayi diberikan keselamatan oleh Allah. Sedangkan membagi-bagi uang receh dengan tujuan agar si bayi ketika dewasa akan dimudahkan rezekinya.

“Harapan, tradisi ini supaya rezekinya lancar selalu dilancarkan. Kalau anak dari ayunan dan turun tanah, supaya mudah berjalan di atas tanah dan diberikan keselamatan oleh Allah,” jelasnya.

Tradisi ini menurutnya masih banyak dilakukan warga di Desa Balas Klumprik Kecamatan Wiyung Biasanya warga memilih melaksanakan mudun lemah (Tedhak Siten) di bulan Syawal, namun juga ada yang memilih di bulan lainnya, seperti bulan besar (dalam hitungan orang Jawa).*

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *