Laporan wartawan sorotnews.co.id : Toni.
PEKALONGAN, JATENG – Upaya Wahari (68), warga Desa Waru Lor, Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, dalam mencari kejelasan terkait dugaan kejahatan pertanahan yang menimpanya, mengalami kebuntuan. Ketika berusaha meminta penjelasan kepada Notaris Ida Rosida, ia hanya diberi penjelasan bahwa untuk mengungkap kasus tersebut, satu-satunya jalan yang tersedia adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Saat menemui Notaris Ida di kediamannya, Wahari menegaskan bahwa kedatangannya bukan untuk menyalahkan pihak mana pun.
“Kedatangan saya kemari hanya untuk meminta fotokopi data-datanya saja,” ujarnya didampingi oleh kuasa hukumnya, Didik Pramono, serta mantan Kepala Desa Waru Lor, Teguh, Kamis(7/11/24).
Namun, Wahari menyampaikan keberatan untuk melanjutkan perkara tersebut ke pengadilan, dengan alasan keterbatasan biaya.
“Saya hanya ingin bertanya, apakah saya salah atau tidak,” katanya dengan nada prihatin.
Teguh, yang mendampingi Wahari sebagai mantan kepala desa saat itu, menyatakan bahwa kehadirannya hanya untuk mencari tahu pihak-pihak yang terlibat dalam perubahan nama kepemilikan sertifikat tanah tersebut.
“Kami di sini hanya mendampingi keluarga Pak Wahari, tanpa maksud berdemo,” jelas Teguh.
Teguh juga mengungkapkan bahwa Wahari tidak pernah memberikan kuasa kepada siapa pun saat meminjamkan sertifikat tanah kepada kakaknya yang kini telah meninggal dunia. Seandainya permintaan data tidak bisa dipenuhi, pihaknya memilih untuk mengakhiri upaya klarifikasi tersebut.
Sakirin, putra Wahari, turut menguatkan dugaan adanya perbedaan data antara pihak keluarga dengan data yang dimiliki Notaris Ida. Ia menyebut, data identitas Wahari yang dimiliki notaris berbeda dengan data kependudukan resmi.
“Di kartu keluarga, ayah saya memiliki enam anak, namun di data lain hanya satu anak. Alamat dan foto KTP pun berbeda,” ungkap Sakirin.
Menanggapi hal ini, Notaris Ida Rosida menjelaskan bahwa awalnya proses ini melibatkan diskusi dengan LBH Adhyaksa dan LSM Robin Hood. Ida menyatakan bahwa sesuai prosedur yang berlaku, pihaknya telah melaksanakan seluruh proses sesuai aturan.
“Awalnya, sertifikat Wahari dipinjamkan kepada kakaknya, dan belakangan muncul pihak lain yang mengajukan perubahan nama sebagai Wahari. Maka dari itu, perkara ini harus dibuktikan di pengadilan,” ujarnya.
Menurut Ida, notaris hanya bertindak berdasarkan bukti formal seperti KTP dan tanda tangan yang sesuai, yang menyatakan keabsahan proses balik nama tanah tersebut. Ia menegaskan bahwa permintaan bukti AJB tidak bisa dipenuhi secara langsung karena hal tersebut memerlukan perintah dari pengadilan.
Ida pun menegaskan bahwa apabila Wahari dan keluarganya ingin mengajukan tuntutan lebih lanjut, proses hukum menjadi langkah yang tepat.
“Perselisihan ini hanya dapat diselesaikan di pengadilan melalui bukti yang disajikan di hadapan hakim,” jelas Ida.
Kasus ini menjadi contoh bagaimana konflik internal keluarga dapat memicu sengketa kepemilikan yang kompleks, yang akhirnya mengharuskan pihak terkait untuk menempuh jalur hukum guna mendapatkan kejelasan hak.**