Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh : Penuh Haru di Masjid Sultan Jeumpa

Laporan wartawan sorotnews.co.id : Hendra. 

BIREUEN, ACEH – Dua puluh tahun telah berlalu sejak tragedi memilukan itu terjadi, namun luka yang ditinggalkan oleh tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 masih terasa begitu nyata. Gelombang besar yang datang setelah gempa dahsyat berkekuatan 8,9 SR tidak hanya menghancurkan daratan, tetapi juga merenggut ratusan ribu nyawa dalam hitungan detik. Hari ini, tangis haru kembali mengiringi doa dan zikir yang dipanjatkan dalam acara peringatan 20 tahun tsunami Aceh di Masjid Agung Sultan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.

Acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bireuen melalui Dinas Syariat Islam ini menjadi momen refleksi yang mendalam.

Kepala Dinas Syariat Islam Bireuen, Dr. H. Jufliwam, S.H., M.M., dengan suara penuh rasa emosional, mengingatkan bahwa peringatan ini bukan sekadar ritual, melainkan panggilan untuk mengenang perjalanan panjang Aceh dari kehancuran menuju kebangkitan.

“Aceh pernah seperti dunia yang runtuh, tapi dari reruntuhan itu kita membangun harapan. Namun, kita tidak boleh melupakan luka yang mengajarkan arti kebersamaan dan keteguhan iman,” ujarnya lirih.

Kala itu, gelombang tsunami menyapu bersih setiap sudut kehidupan di pesisir Aceh. Rumah, jalan, dan harapan hilang seketika, meninggalkan duka yang mendalam bagi mereka yang selamat.

“Seperti kiamat kecil yang menyapa Aceh, namun Tuhan memberikan kita kekuatan untuk bangkit,” ungkap Penjabat (Pj) Bupati Bireuen, Jalaluddin, S.H., M.M., saat membuka acara dengan suara berat yang penuh emosi.

Ia mengajak masyarakat untuk terus mengenang para korban melalui doa yang tulus.

“Mari kita panjatkan doa, semoga mereka yang menjadi korban bencana ini diterima sebagai syuhada di sisi-Nya. Dan bagi keluarga yang ditinggalkan, semoga Allah SWT memberikan kesabaran dan kekuatan yang tiada tara,” serunya.

Zikir yang Menghidupkan Harapan
Dalam tausiah yang disampaikan Tgk. H. Umar Ismail, S.Ag., peserta diajak untuk menjadikan bencana besar itu sebagai pengingat akan kuasa Allah dan betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya. Zikir dan doa mengalir, menjadi simbol harapan bahwa dari setiap ujian besar, ada hikmah yang harus dipetik.

“Melalui doa dan zikir ini, kita tidak hanya mengenang, tetapi juga bermuhasabah, memohon ampunan atas dosa-dosa kita, dan memupuk persatuan. Karena hanya dengan kebersamaan, kita mampu menghadapi setiap ujian yang Allah SWT berikan,” ujar Jalaluddin.

Menggenggam Kekuatan dari Kebersamaan
Acara khidmat ini dihadiri oleh berbagai tokoh penting, mulai dari pejabat pemerintah, ulama, hingga masyarakat umum. Semua larut dalam suasana penuh haru, mengingat kembali betapa besar kekuatan kebersamaan saat bencana melanda.

“Kebersamaan adalah rahmat. Dari ujian besar ini, kita belajar bahwa persatuan adalah kekuatan kita. Jangan pernah lupakan itu,” tegas Jufliwam.

Peringatan ini bukan sekadar upacara tahunan, tetapi menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang. Aceh telah melewati masa kelam dengan doa, zikir, dan kebersamaan yang kuat. Semoga langkah-langkah yang penuh syukur ini terus membawa Aceh menuju masa depan yang lebih baik.**

Pos terkait