Laporan wartawan sorotnews.co.id : Sugeng Tri Asmoro.
SIDOARJO, JATIM – Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Pepelegi – Sawotratap, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo, menggelar protes atas rencana pembongkaran tempat usaha mereka. Kebijakan tersebut disampaikan melalui surat pemberitahuan dari Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (BBWS Brantas), Dinas PU Bina Marga dan Sumber Daya Air Sidoarjo, serta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sidoarjo.
Para pedagang diminta untuk membongkar sendiri lapak mereka karena dianggap melanggar aturan tata ruang dan berpotensi menyebabkan gangguan ketertiban umum. Namun, para pedagang menolak keputusan ini dan mengajukan protes karena khawatir kehilangan mata pencaharian.
Suara Pedagang: “Kami Butuh Tempat untuk Bertahan Hidup”.
Tito Pradopo, salah satu perwakilan PKL yang akrab disapa Bung Tito, mengungkapkan keresahan para pedagang yang mayoritas bergantung pada lokasi tersebut untuk mencari nafkah.
“Kasihan rakyat kecil, makan apa kami kalau sampai digusur? Ini satu-satunya mata pencaharian kami. Kami akan berkirim surat untuk meminta kebijakan yang lebih manusiawi,” ujar Bung Tito saat ditemui di lokasi, Kamis (13/2/2025).
Bung Tito juga menilai bahwa alasan pembongkaran tidak berdasar. Menurutnya, keberadaan PKL di kawasan itu tidak mengganggu ketertiban umum maupun menyebabkan banjir seperti yang dituduhkan.
“Kami akan berkirim surat dengan tembusan ke Balai Besar (BBWS) untuk memohon agar kami tidak digusur. Jika tetap dibongkar, kami akan melakukan aksi protes secara damai,” tegasnya.
Pak Buyung (59), Ketua Paguyuban PKL Pepelegi – Sawotratap, menyampaikan permohonan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan nasib para pedagang yang sebagian besar sudah berusia lanjut dan tidak memiliki sumber penghasilan lain.
“Ini menjelang bulan puasa. Mau cari nafkah di mana kalau sampai digusur? Sebagian besar dari kami sudah pensiun dan tidak punya penghasilan lain. Kami berharap pemerintah memberi solusi, bukan sekadar menggusur,” kata Pak Buyung yang akrab disapa Daeng Siruah.
Daeng Siruah juga menyayangkan kurangnya komunikasi antara pihak pemerintah dengan para pedagang.
“Kami tidak pernah diajak berdiskusi atau diberi solusi alternatif. Surat keberatan kami juga tidak pernah dibalas,” ujarnya.
Menurutnya, tudingan bahwa lapak PKL menyebabkan banjir tidaklah akurat.
“Setelah normalisasi di daerah Pepelegi, banjir sudah tidak ada. Tapi tiba-tiba muncul alasan baru soal gangguan ketertiban umum. Kami bingung, gangguan seperti apa yang dimaksud?” tambahnya.
Sekitar 45 pedagang di lokasi tersebut berharap agar pemerintah mempertimbangkan asas sosial dan kemanusiaan dalam pengambilan kebijakan.
“Kami berharap pemerintah tidak hanya menegakkan aturan, tapi juga melihat dampaknya bagi masyarakat kecil. Terlebih Presiden Prabowo selalu mendukung UMKM untuk naik kelas,” pungkas Daeng Siruah.
Siti Jumaroh (57), salah satu pedagang yang sudah 12 tahun berjualan di kawasan itu, meminta agar pembongkaran dibatalkan. Ia khawatir kehilangan mata pencaharian yang selama ini menjadi sumber penghidupannya.
“Kalau digusur, mau makan apa kami? Setiap tahun memang ada banjir, tapi bukan karena kami berdagang di sini,” kata Bu Siti, warga Pepelegi.
Senada dengan Bu Siti, Sumarti (38), juga berharap pemerintah memberikan solusi yang bijak.
“Sebentar lagi mau puasa dan lebaran. Kalau kami digusur, mau cari nafkah di mana lagi? Kami cuma rakyat kecil yang mencari sesuap nasi di sini,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Menanggapi protes para pedagang, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sidoarjo, Drs. Yany Setyawan, menegaskan bahwa penertiban dan pembongkaran tetap akan dilaksanakan. Menurutnya, langkah ini diambil untuk menegakkan aturan tata ruang dan mencegah potensi banjir di kawasan tersebut.
“Intinya akan tetap dilakukan penertiban dan pembongkaran untuk mencegah banjir dan menjaga ketertiban umum,” tegas Yany Setyawan.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo diharapkan dapat mencari solusi yang tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi bagi para pedagang kecil yang menggantungkan hidup dari tempat usaha mereka.**