Pencabutan Moratorium PMI ke Timur Tengah, F-Buminu Sarbumusi: “Keputusan Yang Terburu-buru, Pemerintah Dinilai Hanya Jadikan Buruh Migran Sapi Perah Perbudakan Modern Demi Mengejar Devisa”

Laporan wartawan sorotnews.co.id : Suherman. 

JAKARTA – Kebijakan pencabutan moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke negara-negara Arab oleh pemerintah menuai Pro kontra dan kritik dari sejumlah aktivis buruh migran. Ali Nurdin Abdurahman, Ketua Umum Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-Buminu Sarbumusi), menuding pemerintah hanya memandang PMI sebagai “sapi perahan” devisa, sementara aspek perlindungan dan keselamatan pekerja diabaikan. Kritik ini mengemuka setelah Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, mengumumkan pencabutan moratorium yang telah berlaku sejak 2015 melalui Keputusan Menteri Nomor 260 Tahun 2015.

Bacaan Lainnya

Karding menyatakan keputusan ini diambil setelah mendapat restu Presiden Prabowo Subianto untuk memenuhi permintaan 600 PMI ke Arab Saudi. Menurutnya, langkah ini akan meningkatkan devisa negara sebesar Rp. 31 triliun. Namun, bagi Ali Nurdin, kebijakan ini justru mengulangi pola eksploitasi sistemik yang mengorbankan hak-hak dasar PMI.

“Ini bukan kebijakan progresif, melainkan kemunduran. Pemerintah terkesan buru-buru mencabut moratorium hanya untuk mengejar angka devisa, tanpa memastikan perlindungan nyata bagi PMI,” tegas Ali dalam keterangan pers di Jakarta.

*Amandemen UU 18/2017: Payung Hukum yang Masih Dibentuk, Perlindungan Dikorbankan*

Ali Nurdin menegaskan bahwa pencabutan moratorium terjadi di tengah proses revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang belum tuntas. Padahal, revisi UU ini seharusnya menjadi dasar hukum untuk memperkuat sistem penempatan dan perlindungan PMI.

“Bagaimana mungkin moratorium dicabut sementara payung hukumnya masih dalam ‘ruang gelap’? Ini seperti membangun menara tanpa pondasi. Pemerintah berisiko melegalkan kerentanan PMI terhadap eksploitasi,” kritiknya.

Ia mengingatkan, moratorium 2015 awalnya diberlakukan karena maraknya kasus kekerasan, pelanggaran kontrak, dan perdagangan manusia yang dialami PMI di Timur Tengah. Menurutnya, tanpa revisi UU yang mengikat, pemerintah tidak memiliki instrumen hukum untuk menuntut pertanggungjawaban negara tujuan atau pelaku pelanggaran.

“Tanpa UU yang kuat dan Perjanjian tertulis, PMI tetap akan menjadi korban dalam sistem yang hanya menguntungkan pihak pengirim dan penerima,” tambahnya.

*Desa sebagai Ujung Tombak Perlindungan: Hanya Jadi Pemanis Regulasi?*

Ali juga menyoroti kegagalan pemerintah dalam memberdayakan desa sebagai pusat informasi dan pelayanan PMI sesuai amanat Pasal 42 UU 18/2017.

“Selama ini, desa hanya jadi ‘tukang stempel’ untuk mengurus dokumen keberangkatan, tanpa kapasitas memadai untuk memberikan pelatihan atau memantau kondisi PMI di luar negeri,” ujarnya.

Padahal, desa seharusnya menjadi garda terdepan dalam memetakan risiko, memverifikasi agen penempatan, dan memberikan pendampingan hukum kepada keluarga PMI.

Ia mencontohkan, banyak kasus PMI nonprosedural (overstayer) di Arab Saudi yang justru berasal dari desa dengan sistem pengawasan lemah.

“Jika desa tidak difungsikan secara serius, kebijakan ini hanya akan menambah daftar PMI ilegal yang terdampar tanpa perlindungan,” tegasnya.

*Bilateral Agreement vs Nota Kesepahaman: Perlindungan Semu untuk PMI*

Kritik tajam juga dilayangkan Ali terhadap ketergantungan pemerintah pada Nota Kesepahaman (MoU) dengan negara-negara Arab, alih-alih memperbarui Perjanjian Bilateral (Bilateral Agreement) yang mengikat secara hukum.

“MoU hanya berisi janji-janji kosong tanpa mekanisme penegakan. Sementara negara seperti Arab Saudi belum meratifikasi konvensi perlindungan pekerja domestik ILO. Bagaimana mungkin kita mengirim PMI tanpa jaminan hukum yang jelas?,” tanyanya.

Ia menegaskan, tanpa perjanjian bilateral yang memuat sanksi tegas bagi pelanggar, PMI domestik, yang mayoritas perempuan, akan tetap menjadi korban kekerasan dan pemotongan upah.

“Ini bukan soal diplomasi, tapi komitmen nyata. Jika pemerintah tidak berani menuntut perlindungan melalui perjanjian tertulis, lebih baik moratorium tetap dipertahankan,” tegas Ali.

*Data PMI yang Ambigu: Bom Waktu Overstayer dan Repatriasi*

Persoalan lain yang mengemuka adalah ketidakjelasan data PMI di negara-negara Arab. Menurut Ali, pemerintah gagal memanfaatkan masa moratorium untuk melakukan repatriasi (pemutihan) terhadap ribuan PMI nonprosedural yang terdampar di Arab Saudi.

“Jika moratorium dicabut tanpa pemutihan data, akan terjadi tumpang tindih antara PMI baru dan yang sudah overstayer. Ini bom waktu yang bisa memicu krisis kemanusiaan dan beban diplomatik,” paparnya.

Ia momentum pergelaran ibadah haji pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri melakukan Diplomasi agar segera melakukan Repatriasi (pemutihan) selain berguna untuk pemutakhiran data juga menginfentarisir permasalahan yang masih dialami oleh PMI selain itu pemerintah segera membentuk tim khusus untuk memverifikasi data PMI, bekerja sama dengan kedutaan dan organisasi lokal.

“Jangan sampai PMI resmi justru kalah bersaing dengan pekerja ilegal yang upahnya lebih murah. Ini akan merugikan negara dan pekerja sendiri,” imbuhnya.

*Pelatihan Asal-Asalan: Sertifikat Kompetensi Hanya Jadi Formalitas*

Ali juga mengkritik sistem pelatihan calon PMI yang masih carut-marut. Meski pemerintah berencana mengandalkan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK LN), praktik di lapangan menunjukkan banyak lembaga pelatihan swasta yang menerbitkan sertifikat kompetensi tanpa standar jelas.

“Banyak PMI yang diklaim ‘terlatih’ ternyata tidak mampu bekerja sesuai sertifikat. Alhasil, mereka diupah rendah atau dipecat sepihak. Ini bukti pemerintah abai dalam menjaga kualitas SDM,” tegasnya.

Ia mendesak BLK LN menjadi satu-satunya penyelenggara pelatihan untuk menghindari pemalsuan kompetensi.

“Pelatihan harus gratis, terstandar, dan diawasi ketat. Jangan sampai lembaga pelatihan jadi ‘pabrik’ calon korban eksploitasi,” tegas Ali.

*RUU PPRT: Pengabaian terhadap Pekerja Domestik yang Tak Kunjung Usai*

Poin terakhir yang disoroti Ali adalah lambannya pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Padahal, 80% PMI di Timur Tengah bekerja di sektor domestik yang rawan pelanggaran hak.

“Selama RUU PPRT tidak disahkan, pekerja rumah tangga tetap tidak diakui sebagai ‘pekerja’ dalam hukum ketenagakerjaan. Mereka tidak punya hak cuti, jaminan kesehatan, atau perlindungan dari kekerasan. Ini bentuk diskriminasi sistemik,” tegasnya.

*Devisa vs Nyawa Manusia*

Ali Nurdin menegaskan bahwa pencabutan moratorium hanya akan bermakna jika diiringi komitmen nyata pemerintah dalam memperbaiki enam poin krusial yang ia soroti.

“Jangan jadikan PMI sebagai sapi perahan devisa. Setiap angka devisa harus sejalan dengan perlindungan hak asasi pekerja. Jika tidak, kebijakan ini hanya akan menjadi blunder yang memalukan di mata internasional,” tandasnya.

Ia mengingatkan pemerintah untuk belajar dari sejarah: moratorium 2015 lahir akibat tingginya kasus pelanggaran hak PMI.

“Jangan sampai kita mengorbankan ribuan nyawa hanya untuk mengejar target ekonomi jangka pendek. Jika persiapan diabaikan, bom waktu ini akan meledak dan menjadi beban bagi generasi mendatang,” pungkas Ali.**

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *