Laporan wartawan sorotnews.co.id : Suherman.
JAKARTA – Dukungan dan solidaritas terhadap Susanti binti Mahfudz, pekerja migran asal Karawang yang terancam hukuman mati di Arab Saudi, terus mengalir dari berbagai pihak. Kali ini, suara tegas datang dari Yeni Rahayu, Sekretaris Sarasa Institute Pangandaran, yang mengecam lemahnya tata kelola perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia, khususnya perempuan dan anak-anak.
Yeni menyampaikan apresiasi mendalam atas sikap Rachmat Hidayat Djati, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi PKB yang juga Ketua DPC PKB Karawang. Ia menyebut Rachmat sebagai contoh nyata legislator daerah yang peduli dan berpihak pada keadilan warga kecil.
“Gerak cepat dan keberpihakan moral dari Pak Rachmat adalah cahaya di tengah gelapnya perlindungan migran kita. Ini bukan soal politik, ini soal nyawa, soal martabat bangsa,” ujar Yeni.
Tak hanya itu, Yeni juga apresiasi Ali Nurdin, Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi, yang secara konsisten mengangkat isu ini ke permukaan hingga mendapat perhatian publik nasional. Menurutnya, suara serikat pekerja seperti Federasi Buminu Sarbumusi sangat penting dalam membongkar kebungkaman yang selama ini menyelimuti persoalan migran.
*Fenomena Gunung Es dan Kelalaian Negara*
Menurut Yeni, kasus Susanti bukanlah insiden tunggal, melainkan puncak dari fenomena gunung es yang mencerminkan buruknya tata kelola migrasi tenaga kerja dari hulu ke hilir. Ia menyebut banyak pekerja migran perempuan yang diberangkatkan tanpa perlindungan, tanpa persiapan, bahkan dalam banyak kasus, masih di bawah umur.
“Susanti bukan hanya korban sistem hukum asing, tapi juga korban pengabaian sistemik dari negara sendiri. Ia diberangkatkan saat masih di bawah umur, tanpa pendampingan hukum, dan masuk ke dalam sistem peradilan yang keras tanpa pegangan,” ungkap Yeni.
*Mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komnas Perempuan dan Anak Turun Tangan*
Yeni Rahayu dengan tegas mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komnas Perempuan dan Komnas Anak untuk aktif dalam menangani kasus ini. Ia menilai lembaga-lembaga tersebut belum memainkan peran signifikan dalam krisis pekerja migran perempuan.
“Ini jelas-jelas eksploitasi perempuan dan anak dalam sistem kerja migran. Kalau kementerian dan komnas yang bertugas melindungi mereka tidak bersuara, lalu siapa lagi? Ini bukan sekadar laporan tahunan atau seminar, ini nyawa manusia,” katanya dengan nada geram.
*Menyoal Ratifikasi dan Pelanggaran Hak Asasi*
Yeni juga mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi ILO, termasuk ILO Convention No. 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga dan ILO Convention No. 138 tentang Usia Minimum untuk Bekerja. Kedua konvensi ini, kata Yeni, seharusnya menjadi pijakan kuat untuk mencegah anak di bawah umur seperti Susanti diberangkatkan bekerja ke luar negeri.
“Jika pemerintah membiarkan Susanti berangkat dalam kondisi belum cukup umur, maka ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tapi pelanggaran HAM. Negara punya kewajiban hukum dan moral untuk menegakkan itu,” tegasnya.
*Usut Tuntas Pelaku Pemberangkatan*
Tak kalah penting, Yeni mendesak agar aparat penegak hukum mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam pemberangkatan Susanti, termasuk calo, perusahaan penempatan, maupun pejabat yang menutup mata. “Mereka harus dihukum berat. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi. Ini adalah bentuk penelantaran terhadap warga negara dan pengabaian hak dasar manusia,” ujarnya.
*Harapan untuk Masa Depan*
Yeni menutup pernyataannya dengan harapan agar kasus Susanti menjadi momentum refleksi nasional dan reformasi total sistem migrasi tenaga kerja. Ia menyebut peran daerah sangat krusial, terutama bagi provinsi seperti Jawa Barat yang menjadi penyumbang PMI terbesar.
“Langkah-langkah seperti yang dilakukan Rachmat Hidayat Djati harus menjadi gerakan kolektif. Jangan sampai tragedi ini hanya menjadi headline sesaat. Kita harus pastikan tidak ada lagi Susanti berikutnya,” pungkas Yeni.
Kasus Susanti membuka tirai lebar-lebar tentang borok sistem migrasi Indonesia. Kini, suara perempuan seperti Yeni Rahayu, bersama legislator berani seperti Rachmat Hidayat Djati, dan aktivis pekerja seperti Ali Nurdin, memberi harapan bahwa perlindungan migran bisa kembali pada arah yang benar, berpihak pada manusia, bukan sekadar angka devisa.**