Jaringan Damai Papua, Dialog Antara Papua Dan Jakarta Harus Dilaksanakan

Laporan wartawan sorotnews.co.id : Oriyen Suebu.

MANOKWARI, PAPUA BARAT – Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dilakukan pada tahun 2004 – 2006 tentang konflik di Tanah Papua. Kemudian pada tahun 2008 LIPI ditugaskan oleh Pemerintah Indonesia untuk pembuatan Papua Road Map Penyelesaian Konflik di Tanah Papua.

Jubir Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Warinusy mengambil kesimpulan tersebut diatas terdapat 4 (empat) akar permasalahan yakni masalah marjinalisasi, efek diskriminatif terhadap orang Asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik dan migrasi massa ke Papua sejak tahun 1970. Sehingga untuk menjawab masalah ini, kebijakan afirmatif rekognisi perlu dikembangkan guna pemberdayaan Orang Asli Papua (OAP), Kamis (3/2/22).

Kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu diperlukan paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan Orang Asli Papua di kampung kampung.

Kontradiksi sejarah dan kontruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Menurut Yan Warinusy, “Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan Dialog seperti yang sudah dilakukan Aceh,” katanya.

Pertanggungjawaban atas kekerasan Negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua. Untuk itu, lanjut Yan Warinusy

“Jalan rekonsiliasi diantara pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pengungkapan kebenaran adalah pilihan untuk penegakan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama Korban, keluarganya dan warga negara Indonesia di Papua secara umum,” jelasnya.

“Ada catatan bahwa keempat isu dan agenda tersebut diatas dapat dirancang sebagai strategi kebijakan yang saling terkait guna penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh dalam jangka panjang,” ucap Warinusy.

Kini tahun 2022, usia berlakunya UU RI No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua akan memasuki usia ke-21 Tahun.

Bertolak dari Papua Road Map tersebut Jaringan Damai Papua berpandangan bahwa hendaknya kebijakan bagi upaya penyelesaian konflik di Tanah Papua oleh Pemerintah Pusat Indonesia tidak boleh dilakukan secara parsial dan hanya berfokus pada pembangunan kesejahteraan semata. Sebab akar konflik sudah jelas, sehingga tidak bisa melakukan pembangunan kesejahteraan dengan sadar tanpa mau menyentuh penyelesaian konflik bersenjata yang tengah berlangsung di wilayah Ilaga, Puncak, Kiwirok, Nduga dan Oksibil serta Kisor-Maybrat.

Yan Warinusy menyampaikan permasalahan ini tidak bisa melakukan pendekatan pembangunan kesejahteraan saja tanpa melihat soal dukungan dan bantuan pangan, sandang dan kesehatan bagi para pengungsi yang mayoritas Orang Asli Papua di Nduga, Wamena, Ilaga, Kiwirok dan Maybrat.

Ia juga mengatakan permasalahan ini tidak bisa melakukan pembangunan kesejahteraan tanpa pula melihat pertikaian bersenjata yang terus terjadi antara aparat TNI/Polri dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di wilayah pegunungan tengah Papua hingga Maybrat, Papua Barat.

Oleh sebab itu, Jaringan Damai Papua (JDP) ingin memberi catatan kepada Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk segera menyadari bahwa persoalan Papua adalah bukan hanya persoalan kesejahteraan semata. Tapi masalah marginalisasi dan efek diskriminasi terhadap Orang Asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik dan migrasi massal ke Papua sejak tahun 1970.

Ia juga menyampaikan Papua daerah potensial sumber daya alam yang awalnya menjadi hak masyarakat adat Papua, tapi kini dikuasai dan dikelola oleh Orang Non Papua bahkan ada kecenderungan “intervensi” oknum aparat keamanan yang senantiasa mengakibatkan Orang Asli Papua berada pada posisi termarginalkan secara ekonomi dan politik.

Banyak fakta membuktikan kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, salah satunya mama mama Papua tidak memiliki akses yang penting dalam mekanisme pasar yang ada di wilayah perkotaan Papua. Mereka hanya bisa berjualan dengan cara menebar barang dagangannya di atas emperan toko atau kios milik warga masyarakat pendatang (Non Papua).

Kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta tidak bisa disangkal sebagai masalah penting pula, karena negara secara sadar “mengakuinya” sebagaimana tertuang dalam konsideran menimbang huruf e dari UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Pertanggungjawaban atas kekerasan Negara di masa lalu terhadap warga Indonesia di Tanah Papua menjadi soal urgen yang semestinya dibijaki untuk diselesaikan secara bermartabat. Oleh karena itu saya, selaku Juru bicara JDP menyuarakan pandangan kami bahwa pendekatan pembangunan kesejahteraan tidak bisa dilihat terpisah dan dilakukan dengan menafikan upaya menyentuh penerapan kebijakan afirmatif rekognisi guna pemberdayaan Orang Asli Papua. Artinya, jika ada upaya pemberian prioritas bagi Orang Asli Papua untuk diterima dalam sejumlah sektor kerja seperti aparat Kepolisian dan Jaksa serta hakim maupun pengusaha asli Papua.

Lalu pada saat yang sama juga, mucullah kebijakan untuk kaum Non Papua dengan alasan Lahir Besar Papua (Labepa). Hal ini tentu akan berimplikasi pada “pengurangan” kuota OAP yang juga bisa berujung pada aksi bakar ban di jalan raya di kota kota besar di Tanah Papua.

Afirmatif rekognisi justru bertujuan positif untuk memberi kesempatan pertama dan utama bagi OAP untuk mengejar ketertinggalannya. Demikian juga dengan pelayanan publik demi kesejahteraan Orang Asli Papua menjadi sesuatu yang urgen demi kesejateraan OAP.

“Pemerintah Indonesia harus mengedepankan dialog guna mendorong penyelesaian atas persoalan kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta,” terang Warinusy.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *