Laporan wartawan sorotnews.co.id : Priska Sitorus.
BATAM, KEPRI – Pernyataan disampaikan Amran Muhammad kepada awak media melalui release nya dari sebuah WhatsApp, Amran mengatakan kalau kami warga Rempang adalah sebagi ahli waris hak ulayat pertanahan Batam selalu merasa terzolimi, selalu tertindas atas kinerja sepihak oknum tertentu di bp Batam.
“Perlu untuk diketahui kalau leluhur kami telah menempati pulau Rempang jauh sebelum masuk nya otorita Batam, apa lagi bp batam,” kata Amran.
“Namun semenjak adanya otorita Batam kami sebagai masyarakat Tempatan seperti nya tidak diberikan hak sebagai mana mestinya, misalnya hak untuk mempunyai sertifikat kepemilikan tanah secara sah sebagai mana hukum yang berlaku yang bisa menjadi bukti secara yuridis,” ungkapnya.
Namun terlepas dari bukti kepemilikan lahan secara yuridis tapi bukti fisik kalau kami adalah pemilik lahan juga perlu untuk dipertimbangkan karena hal itu juga di aku dalam undang undang negara.
Masih Amran menerangkan, “dengan bukti fisik yang kami miliki dan bukti yuridis yang kami miliki serta berdasar kan HPL, hak pengelola lokasi kami minta kebijakan penuh para menteri KLHK, BPN, ATR menerapkan kan UU negara di mana di tengah Negara ada hak-hak masyarakat yang harus di lindungi secara legal yaitu hukum negara,” ungkapnya.
“Selama ini kami tidak diberikan hak hak kami sebagai mana mestinya masyarakat yang tinggal di atas negara yang merdeka, kami seperti di jajah oleh berbagai kebijakan yang bersifat diskriminatif,” jelasnya.
Amran mencontohkan adanya rencana pengembangan daerah pulau Rempang yang akan merelokasi masyarakat rempang galang yang di sepakati melalui MOU pengembangan pada tahun 2024 silam tanpa memperhatikan historis masyarakat yang sudah turun temurun bertempat tinggal di pulau Rempang yang notabene adalah sebagai petani dan nelayan.
“Ada pepatah yang mengatakan, Lebih mudah meruntuh kan gunung dan gedung dari pada merubah kebiasaan, artinya jika masyarakat di relokasi ke sebuah tempat sudah pasti masyarakat tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam dan tidak memiliki akses untuk mencari ikan sebagai nelayan,” jelasnya.
“Jika itu terjadi kepada 17 000 masyarakat Rempang, maka saya pastikan akan mengalami perubahan yang sangat besar akan mempengaruhi kehidupan masyarakat khususnya dari segi ekonomi, sosial dan budaya, dimana masyarakat Rempang yang mayoritas Melayu pesisir selama ini menganggap kalau tanah (daratan) adalah sebagai bapak dan laut adalah ibu yang bisa menjaga dan memberikan kehidupan pada manusia,” ungkapnya.
“Selama ini kami masyarakat Rempang menjadikan tanah garapan kami dan laut sekitar adalah sebuah supermarket ciptaan Allah, anugrah dari Tuhan yang maha esa yang harus kami rawat dan kami jaga,” katanya.
“Jadi kami memohon kepada pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan revisi dan atau pembubaran BP Batam yang mana menurut kami selaku masyarakat pribumi, keberadaan BP Batam hanya sebagai penjajah yang tidak pernah memikirkan kemakmuran masyarakat sebagai mana yang di canangkan oleh para pejuang kemerdekaan negara Indonesia ini,” ungkapnya.
“Apalagi selama ini ketua BP Batam bapak Muhammad Rudi selalu saja memberikan alasan kalau beliau hanya meneruskan kesepakatan para pendahulunya yaitu bapak nyatkadir dan mostofa Wijaya yang telah membuat kesepakatan pada tahun 2024 silam, saya katakan itu adalah upaya pembodohan kepada masyarakat atau daleh untuk melindungi diri,” jelasnya.
Pernyataan kepala BP Batam bapak Muhammad Rudi tersebut sangat tidak berbanding lurus dengan berbagai kebijakan yang beliau terapkan kepada para investor yang sudah mendapatkan hpl lahan di kota Batam, di mana melalui perka nomor 3 tahun 2020 pada ayat 1 menyatakan apabila dalam jangka waktu 1 tahun pemegang hpl tidak melakukan pembangunan maka hpl tersebut bisa di tarik atau di alihkan kepada orang lain, kira kira begitu.
Sementara perjanjian tersebut sudah 19 tahun jadi jangan berdaleh lah, selain itu bapak Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) RI, Sofyan Djalil di Batam Centre, Sabtu (30/4)2019 kalau kampung tua yang ada di kota Batam akan di keluarkan dari hpl, jadi kampung Rempang kurang tua apa lagi? Belum otorita membangun Batam kampung Rempang Galang sudah ada, jauh sebelum bapak Muhammad Rudi lahir kampung Rempang sudah ada.
“Jadi saya mohon jangan ada lagi intimidasi dan diskriminasi terhadap tokoh tokoh kami yang menolak penggusuran Rempang agar tidak terjadi komplek terbuka yang bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, biarkan para tokoh kami menyelesaikan dengan cara yang damai,” ujar Amran.