Laporan wartawan sorotnews.co.id : Agus Arya.
JAKARTA – Problematika Kota Jakarta bukan hanya soal kemacetan saja, yang tampak kian parah dan belum ada solusi konkrit untuk mengatasinya. Juga bukan hanya soal produksi sampah yang tiap hari mencapai 6.000 ton sampah. Masalah krusial lain Kota Jakarta adalah terkait pengelolaan air perpipaan, yang dalam hal ini dikelola oleh PAM Jaya.
Dari sisi hilir, terdapat beberapa persoalan klasik yang menyelimuti pengelolaan air perpipaan di Jakarta. Disebut persoalan klasik tersebab selama 25 tahun terakhir, keluhan dan persoalan yang dialami konsumen tidak beranjak dari perubahan, yakni masalah pasokan air, kualitas air, dan masalah pentarifan/tagihan. Itu setidaknya potret permasalahan yang dialami konsumen 2023-2024 yang terwadahi dalam pengaduan di YLKI.
Pada konteks yang lebih meluas, cakupan air perpipaan yang disediakan oleh PAM Jaya masih belum memadahi, tersebab masih berkisar 64 persen dari total populasi, atau sekitar 2 (juta) pelanggan. Bahkan data yang lain menyebutkan hanya 44 persenan.
Padahal untuk memitigasi agar tanah di Jakarta tidak semakin amblas, maka idealnya kebutuhan air bersih untuk warga Jakarta seharusnya dipasok oleh air perpipaan, oleh PAM Jaya. Sebab jika warga terus menerus menyedot air tanah, tanpa dibarengi dengan ruang terbuka hijau yang memadai maka risiko tanah di Jakarta makin amblas, menjadi tak terhindarkan. Bahkan kualitas air tanah pun akan makin burukoleh cemaran seperti bakteri ecolli. Belum lagi merembesnya air laut dalam tanah di Jakarta.
Namun mendorong percepatan cakupan akses air bersih yang dipasok oleh PAM Jaya, untuk saat ini bak menegakkan benang basah. Untuk melakukan hal tersebut tentu memerlukan investasi yang tinggi. Boro boro untuk memperbesar investasi, untuk menjaga keberlasungan keandalan pelayanan eksisting saja managemen PAM Jaya masih tampak kelimpungan. Apalagi mayoritas pipa PAM Jaya yang masih warisan era Belanda, yang seharusnya diremajakan. Tanpa peremajaan pipa, menjadi sangat musykil untuk melakukan improvisasi dalam pelayanannya. Tingkat kebocoran pipa akan makin tinggi.
Merujuk pada fenomena seperti itu, kini sayup sayup terdengar wacana kebijakan untuk menaikkan tarif air PAM Jakarta. Pertanyaannya, sudah pantaskah air PAM Jakarya dinaikkan? Memang, dari sisi momen, cukup bisa dimengerti jika besaran tarif PAM Jaya direviu, tersebab sejak 2007 tarif PAM Jaya belum pernah direviu besarannya. Artinya sudah 19 tahun. Dari sisi kebijakan pentarifan ini bisa dikatakan kurang sehat, sebab biaya pokok penyediaan (biaya produksi) sudah pasti mengalami kenaikan seperti biaya investasi, perawatan, tenaga kerja, kenaikan inflasi, plus turunnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika, yang sekarang mencapai Rp 16.000-an.
Selain itu, jika dibandingkan dengan tarif PDAM di Bodetabek, ternyata tarif PDAM di area Bodetabek jauh lebih tinggi. Contoh untuk tarif golongan rumah tangga, PAM Jaya sebesar Rp 1.050-7.450/kubik, sedangkan Kota Depok Rp 4.200-13.000/kubik, Kab. Bogor Rp 3.000-7.000, dan Kota Bekasi Rp 3.200-Rp 17.000. Disparitas tarif yang jomplang antar area ini bisa menimbulkan efek negatif dari sisi distribusi, misalnya penyelundupan air bersih dari Kota Jakarta ke area penyangga Bodetabek.
Kendati tarif di Jakarta masih di bawah kota satelit di sekitarnya, namun dalam mereviu kebijakan tarif, tetap harus memerhatikan hak hak konsumen sebagai pengguna air. Tersebab air adalah basic need, sehingga dalam penetapan harga tak bisa seenaknya. Untuk esensial services seperti air, maka dalam kebijakan pentarifan hal yang tak bisa ditinggalkan adalah dua aspek utama, yakni aspek daya beli (purchasing power) atau kemampuan membayar (ability to pay), dan aspek kemauan membayar atau willingness to pay. Kedua hal ini saling berkelindan, tak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, managemen PAM Jaya harus punya kajian yang mendalam terkait aspek daya beli dan aspek kemauan membayar masyarakat. Khususnya untuk konsumen/pelanggan dari golongan/kategori menengah bawah.
Walaupun, dari sisi daya beli, juga harus dilihat potret pola konsumsi dari rumah tangga (miskin) yang bersangkutan. Bisa jadi mereka tidak termasuk kategori rumah tangga miskin, karena pola konsumsi terhadap rokok yang sangat tinggi, sebagaimana data BPS. Bayangkan, kalau per hari untuk alokasi rokok mencapai Rp 15.000-20.000, maka dalam sebulan akan mencapai Rp 450.000-Rp 600.000. Menurut data BPS 2023, rerata masyarakat miskin kota mengalokasikan pendapatannya untuk membeli rokok sebesar 11,3 persen. Bandingkan berapa rupiah mereka mengalokasikan untuk membayar tagihan PAM?
Selain memerhatikan kedua aspek itu (ATP/WTP), maka managemen PAM Jaya harus punya target yang lebih luas dan besar, khususnya rerkait memperluas cakupan akses warga Jakarta, hingga 100 persen. Hal ini sangat mendesak untuk mengantisipasi dan memitigasi penurunan air tanah Jakarta dan peningkatan muka air laut. PAM Jaya harus punya target yang terukur untuk mencapai cakupan 100 persen.
Jadi intinya, terhadap wacana/rencana kenaikan tarif PAM Jaya itu, beberapa hal mendasar harus mendapatkan perhatian serius, yakni PAM Jaya harus berkomitmen; pertama, untuk meningkatkan pelayanan pada penggunanya secara terukur, baik terkait pasokan (suplai) dan kualitas air; kedua, penanganan pengaduan konsumen yang cepat dan menggunakan beragam akses; ketiga, meningkatkan keandalan dan inovasi pelayanan, seperti memperbanyak reservoair komunal. Keberadaan reservoir komunal sangat penting untuk mengatasi masih tingginya kasus kehilangan air (Non Revenue Water) yang masih tinggi, oleh adanya kebocoran pipa. Saat ini terdapat lebih dari 19 ribu km pipa air PAM Jaya, yang mayoritas warisan jaman Belanda. Jika PAM Jaya tak mampu memberikan jaminan peningkatan pelayanan, maka kenaikan tarif menjadi kebijakan yang tidak adil, tidak bijak; apalagi tarif PAM Jaya sudah mencapai level FCR (Full Cost Recovery).
Dari sisi kebijakan publik, maka yang terpenting adalah adanya tarif yang adil dan berkelanjutan, baik adil bagi konsumen, adil bagi operator, bahkan adil bagi lingkungan. Pada titik tertentu, sebagai komoditas publik yang esensial, maka kontribusi dari Pemprov Jakarta haruslah signifikan, misalnya memberikan dana PSO (Public Service Obligation). Bandingkan dengan dana PSO yang digelontorkan ke sektor transportasi (Transjakarta), yang mencapai Rp 3,4 triliun (2024). Akses dan pasokan air bersih dengan harga terjangkau, dengan pelayanan yang andal, adalah hak asasi warga Kota Jakarta, Pemprov Jakarta dan PAM Jaya wajib menyediakannya.*