Laporan wartawan sorotnews.co.id : Suherman.
JAKARTA – Ketua Umum Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-BUMUNU SARBUMUSI), Ali Nurdin Abdurahman, menyampaikan kritik terhadap kinerja Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), Abdul Kadir Karding. Menurut Ali, Karding terkesan hanya berfokus pada target jumlah pengiriman pekerja migran tanpa memperhatikan sistem tata kelola perlindungan yang seharusnya menjadi prioritas.
“Kinerja Menteri P2MI tidak terarah. Menangkap mentah-mentah penafsiran Pesan Presiden tentang target peningkatan Devisa, padahal instruksi Presiden jelas, yaitu Perlindungan, arti dari perlindungan itu memperbaiki sistem tata kelola nya dulu. Jika sistemnya sudah baik maka devisa juga akan meningkat secara otomatis. Ibarat disuruh membangun atau merenovasi rumah, Yang harusnya dibangun pondasinya yang kuat, bukan mendahulukan atapnya. Justru dengan kinerja seperti itu akan mempermalukan Presiden itu sendiri,” ujar Ali.
Eksploitasi Gaya Baru
Ali menilai pendekatan Karding yang lebih menekankan pada target pengiriman pekerja dapat dianggap sebagai bentuk eksploitasi gaya baru. Hal ini berpotensi menjadikan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sebagai obyek dan komoditi, seharusnya KP2MI fokus pada perbaikan infrasruktur internal dan layanan secara menyeluruh, Diplomasi Luar negeri melalui Perjanjian bilateral
“Diplomasi untuk Memastikan PMI terlindungi secara hukum dan terlindungi dari pembenanan biaya. Kalau sistem ini sudah berjalan baik, barulah kita berbicara target konkret, bukan sekadar seremonial, bila perlu Stop dulu penempatan ke semua Negara,” lanjut Ali.
Disisi lain, Ali menyambut baik pernyataan Presiden Prabowo Subiato dengan memberikan alokasi anggaran Rp. 75 triliun untuk perlindungan PMI secara bertahap. Namun, ia menilai penggunaannya harus diarahkan untuk pendidikan dan peningkatan kapasitas PMI, bukan untuk penempatan yang akan membebani pekerja.
“Jika biaya penempatan dibebankan kepada PMI, itu salah kaprah. Pasal 30 (1) UU No. 18 tahun 2017, juga Konvensi ILO 181, Pekerja Migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan dan ini sudah dilakukan seperti Arab Saudi, Malaysia, Hongkong dan Taiwan sebagai Negara penempatan terbesar, Pengguna berani membayar biaya penempatan bahkan Jepang siap membiayai pekerja yang benar-benar terlatih (Siap Kerja). Seharusnya itu menjadi standar kita, melalui P2MI negara malah akan membebani walaupun dengan bunga rendah, Rakyat mau Bekerja itu untuk mencari uang bukan hutang, itupun karena di Negara sendiri tidak menjamin,” jelas Ali.
Ali Nurdin menggarisbawahi pentingnya fokus pada perlindungan, bukan sekadar target pengiriman. Dengan membangun sistem tata kelola yang kuat, Indonesia dapat melindungi PMI sekaligus meningkatkan devisa secara berkelanjutan.
Semetara Ketua Bidang Kebijakan Publik Abdul Rahim Sitorus perlunya dorongan kepada KP2MI agar menetapkan SOP terkait mekanisme penyelesaian masalah dan pemenuhan hak Calon PMI / PMI, seiring dengan pelaksanaan fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Karena selama ini KP2MI/BP2MI bersama Mediatornya seolah cenderung mengabaikan pelindungan PMI dengan dalih masa transisi.
“Faktanya, sebelum masa transisi, mediator KP2MI/BP2MI atas arahan pejabat malah melemahkan posisi PMI korban tindak pidana UU No. 18 Tahun 2017 dengan anjuran dari hasil mediasi agar penyelesaian kasus tindak pidana, misalnya pembebanan biaya penempatan, dilakukan lewat jalur perdata. Ironisnya, KP2MI/BP2MI sama sekali tidak memberikan advokasi berupa bantuan hukum dan bahkan tidak ada tindak lanjut pelaksanaan fungsi pengawasan dan penegakan hukum yang tegas seperti amanah Penjelasan Umum UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI, karena Ketiadaan SOP mekanisme tersebut sejatinya pengkhianatan atas tugas dan tanggung jawab pelindungan PMI untuk meraih hak dan keadilan,” ungkapnya.
“Ironisnya, KP2MI terlalu sibuk dengan masalah PMI yang 90 % nonprosedural, sebaliknya abai atau bahkan khianat atas akses keadilan bagi pelindungan PMI prosedural yang dianggap kecil hanya 10 %,” ujar Abdil Rahim.
Sementara Ketua Bidang Advokasi Sandi Candra menyoroti keterfokusan Karding terhadap Nonprosedural seolah-olah yang perhatikan itu apinya bukan air untuk memadamkan.
“Nonprosedural itu dampak dari kebijakan pemerintah itu sendiri, seharusnya yang lebih diperhatikan itu solusinya karena selama yang resmi ditutup dan dipersulit maka sampai kapanpun Nonprosedural akan sulit dihentikan, sehingga solusinya hanya satu buka Moratorium dengan catatan maka pemberangkatan Nonprosedural akan hilang dengan sendirinya,” ujar Sandi.**