Laporan wartawan sorotnews.co.id : Ade Kristianto.
JAKARTA – Konflik internal di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dinilai tidak hanya terkait persoalan kepengurusan, tetapi juga mencerminkan lemahnya tata kelola organisasi dan kepemimpinan yang belum sepenuhnya berorientasi pada kepentingan bersama.
Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi, S.E., M.B.A., M.M., selaku Dewan Penasihat Forum Pemred Media Siber Indonesia (SMSI) dan Anggota Tim Ahli Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, menegaskan bahwa polemik ini harus diselesaikan secara bermartabat dengan tetap berpegang pada konstitusi organisasi.
Hormati Keputusan Dewan Kehormatan
Saurip Kadi mengingatkan pentingnya menghormati keputusan Dewan Kehormatan PWI terkait pemberhentian Hendry Ch Bangun (HCB), asalkan sesuai dengan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) organisasi. Namun, ia menegaskan bahwa jika terdapat indikasi ketidakadilan, mekanisme penyelesaian internal harus diutamakan.
“Sebagai organisasi profesi wartawan, PWI harus menjadi contoh dalam menjunjung tinggi integritas, transparansi, dan kepatuhan terhadap aturan internal,” ujarnya, Minggu (16/02/2025).
Terkait proses hukum yang tengah berjalan di kepolisian, Saurip Kadi menekankan pentingnya penyelesaian yang cepat dan tegas untuk menghindari ketidakpastian yang berlarut-larut.
“Penyelesaian hukum harus dilakukan secara profesional dan transparan agar menjadi pembelajaran bagi pengurus PWI ke depan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa keabsahan kepemimpinan organisasi tidak semata-mata ditentukan oleh administrasi negara, seperti AHU Kemenkumham.
“Kemenkumham hanya mencatat dokumen hukum yang diajukan. Legalitas kepemimpinan harus merujuk pada konstitusi organisasi itu sendiri,” jelasnya.
Lebih jauh, Saurip Kadi memperingatkan bahwa konflik berkepanjangan dapat merusak kredibilitas wartawan dan media di mata publik.
“Polemik ini mencerminkan adanya kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan semangat profesionalisme pers. Jika tidak segera diselesaikan, kepercayaan publik terhadap pers nasional bisa menurun,” ungkapnya.
Untuk itu, ia mendorong dialog terbuka yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk tokoh senior yang memiliki rekam jejak kepemimpinan yang bijaksana.
“Perlu ada upaya konkret untuk meredam ketegangan dan mengembalikan marwah PWI sebagai organisasi yang menaungi insan pers,” tambahnya.
Saurip Kadi menilai perlunya reformasi kelembagaan di tubuh PWI untuk mencegah konflik serupa di masa mendatang.
“Harus ada penguatan sistem pengawasan dan penegakan disiplin organisasi agar tidak ada celah bagi kepentingan pribadi atau kelompok yang dapat merusak nama besar PWI,” ujarnya.
Reformasi ini juga mencakup transparansi dalam tata kelola keuangan, pengambilan keputusan, serta mekanisme pemilihan kepemimpinan yang lebih demokratis dan berintegritas.
Sebagai solusi, Saurip Kadi menyerukan rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai dengan mengedepankan kepentingan organisasi dan profesi wartawan secara lebih luas.
“Pihak-pihak yang bertikai harus bisa menanggalkan ego masing-masing. Jangan sampai kepentingan pribadi mengorbankan organisasi yang memiliki sejarah besar dalam dunia jurnalistik nasional,” tegasnya.
Ia juga merekomendasikan pertemuan rekonsiliasi dengan melibatkan mediator independen yang kredibel agar proses penyelesaian berjalan objektif dan adil. Selain itu, ia mengimbau semua pihak untuk menghentikan klaim sepihak yang dapat memperkeruh suasana.
“PWI harus kembali menjadi rumah besar bagi para wartawan, dengan menjunjung tinggi profesionalisme dan etika jurnalistik. Jangan sampai organisasi ini terpecah hanya karena konflik kepentingan yang tidak sejalan dengan visi besar pers nasional,” pungkasnya.**